Peran Pelajar Islam Indonesia (PII) Dalam Kultur Masyarakat Masa Kini

Pelajar Islam Indonesia (PII) adalah sebuah organisasi islam ekstra-sekolah yang mewadahi para pelajar serta mahasiswa dalam mensyiarkan islam sebagai agama rahmatan lil’alamiin. Organisasi ini berdiri secara independen, berdasarkan islam itu sendiri dan bergerak dalam dunia pendidikan. PII bukanlah sebuah organisasi yang mengandung unsur politik maupun keberpihakan para elit politik.
PII didirikan untuk menciptakan kader – kader muslim berkarakter  cerdas, cendikia, serta memiliki jiwa kepemimpinan (leadership). Tujuan organisasi ini adalah kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan yang sesuai dengan Islam bagi segenap rakyat Indonesia dan umat manusia.
Latar belakang berdirinya PII pada saat itu di pengaruhi oleh adanya dualisme sistem pendidikan yaitu antara pendidikan model pesantren dan sekolah umum. Pesantren sendiri mayoritas berorientasi pada pembekalan para santrinya hanya sekedar urusan akhirat saja sedangkan sekolah umum sendiri lebih berorientasi pada keilmuan duniawi yang sejatinya tidak bisa menjadi bekal di akhirat kelak.
Dualisme sistem pendidikan tersebut mengakibatkan pelajar terpecah-belah, seringkali saling menghujat dan membentuk kelompok-kelompok tersendiri dan melakukan pembenaran atas apa saja yang menjadi tujuan masing-masing kelompok. Sehingga disini muncul rasisme dan kebanggaan atas kelompoknya.  Mereka yang belajar di sekolah umum memiliki stigma “pelajar kafir” dan dianggap sekuler karena tidak memiliki kepercayaan terhadap Tuhan. Di lain pihak, pelajar pesantren dianggap ketinggalan zaman karena hanya belajar ilmu agama saja dan tidak mengikuti perubahan zaman dengan teknologi dan keilmuan yang semakin berkembang. Mereka dilabeli santri kolot atau santri teklekan.
Pada akhirnya diadakanlah sebuah pertemuan di kantor PII Yogyakarta pada hari Ahad, tanggal 4 Mei 1947. Dalam pertemuan itu dihadiri oleh para tokoh dari pihak pesantren dan pelajar sekolah umum yaitu  Joesdi Ghozali, Anton Timur Djaelani, Amin Syahri, Ibrahim Zarkasji, Multazam, Shawabi, Dida Gursida, dan Supomo NA. Hasil dari pertemuan tersebut adalah berdirinya organisasi Pelajar Islam Indonesia untuk mempersatukan para pelajar di negeri ini, yang kemudian disebut PII.
Peranan dan fungsi pelajar sebagai salah satu agen perubahan dan pejuang pendidikan tidak dapat dikesampingkan. Sebab, sejak zaman dahulu pemuda lah yang mempelopori perubahan dan reformasi. Misalnya KH. Ahmad Dahlan, Soekarno, dan lain-lain.
Namun sayangnya pada era Orde Baru, suara PII seakan terpasung. Bahkan sampai sekarang, mereka yang mewarisi karakter Orba masih mendiskreditkan suara para pelajar. Mereka menganggap para pelajar belum memiliki kapasitas dan kapabilitas menyalurkan pendapat maupun kontribusi selain hanya duduk dan belajar di bangku sekolah, demi sebuah perubahan.
Dunia seolah-olah lupa bahwa pelajar dengan kecerdasan intelektualnya itu mampu membuat analisis dan kritik. Paul Baran pernah mengatakan, seorang intelektual pada asasnya adalah kritikus yang akan mengidentifikasi, menganalisis, serta membantu mengatasi segala permasalahan yang ada di masyarakat.
Maka, pelajar yang baik adalah mereka yang senantiasa peka terhadap situasi sosial di sekelilingnya. Mereka tidak hanya manut pada dogma dan pengetahuan dari sang guru, tetapi juga bersikap kritis, seiring mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks itu, seyogyanya para pelajar yang tergabung dalam PII mampu mendefinisikan-ulang peran organisasi pelajar tertua di Indonesia ini. Langkah-langkah strategis perlu dirumuskan demi menghadapi berbagai tantangan zaman.
Revitalisasi perannya di masyarakat sebagaimana disampaikan Pengurus Besar PII beberapa waktu lalu, perlu diperhatikan. Ada beberapa langkah yang telah dirumuskan, di antaranya: Pertama, mendidik para anggota agar taat kepada Allah swt. Kedua, menumbuhkan kecerdasan, kreativitas, ketrampilan, minat, serta bakat dari para anggota. Ketiga, mendidik anggotanya menjadi independen, mampu berdiri di kaki sendiri tanpa bergantung kepada orang lain.
Keempat, Mendidik mental serta menumbuhkan apresiasi terhadap ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Kelima, mendidik anggotanya untuk dapat mengelola informasi global seraya melindungi mereka dari dampak negatifnya.
Keenam, membantu anggotanya dalam mengembangkan minat dan memecahkan masalah pelajar. Ketujuh, menyelenggarakan aktifitas sosial keislaman untuk umat Islam dan NonIslam. Kedelapan, mengembangkan semangat dan kemampuan anggotanya dalam menguasai serta menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi demi kesejahteraan manusia.
Kesembilan, mengembangkan kemampuan anggotanya untuk mempelajari, memahami, mengapresiasi, dan mengamalkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari. Kesepuluh, menciptakan pemimpin yang memiliki pandangan hidup Islami, wawasan yang luas di berbagai bidang dan berkepribadian muslim .
Bagi PII, pelajar merupakan ujung tombak perubahan peradaban. Masyarakat menaruh harapan besar terhadap para pelajar. Generasi masa depan yang berkualitas dan peka terhadap persoalan sosial sangat dibutuhkan.
Pelajar yang baik tak ragu untuk melakukan kritik terhadap lingkungan sosialnya. Melalui menulis, misalnya, ia bisa menyampaikan saran atau ide-ide cemerlang terkait berbagai persoalan di masyarakat. Inilah peran aktif pelajar yang harus terus dikembangkan.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.